Masa-masa kali pertama
akan sekolah, selalu menjadi mimpi indah di malam hari bagi siswa baru. Terbayang
teman baru, baju baru, serta pernak-pernik baru yang dipersiapkan untuk
menjalankan aktivitas sekolah. Tapi tak
lupa juga membayangkan masa-masa pengenalan sekolah baru yang begitu
mendebarkan. Penuh hentak serta pengujian mental. Seolah bersiap diri untuk dimaki. Bagi
siswa yang tidak baru, atau senior, juga begitu mendebarkan menanti
bulan-bulanan mereka.’ Adik-adik’ baru yang akan mereka tempa mentalnya dengan
hentakan dan tekanan melalui sebuah masa yang bernama MOS (Masa Orientasi
Siswa).
sorak-sorak 'bergembiraaa' *foto : google.com |
Namun, kini itu semua hanya menjadi sebuah bunga tidur yang menemani malam-malam mereka. Dengan adanya Peraturan menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 18 tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS), mulai tahun pelajaran 2016/2017 masa orientasi siswa baru berubah menjadi masa pengenalan lingkungan sekolah. Dimana upaya ini dilatar belakangi oleh implementasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2014 tentang Masa Orientasi Siswa Baru di sekolah yang dianggap belum dapat secara optimal mencegah terjadinya perpeloncoan dalam pelaksanaan pengenalan lingkungan sekolah.
Sebab, dalam Permendikbud 55 Tahun
2014, hanya mengatur tujuan MOS, kurun waktu pelaksanaan, dan penanggung jawab.
Dan malah tidak mengatur tentang siapa yang memegang kendali MOS, serta
larangan yang spesifik mengenai pasal 3 Permendikbud 55 Tahun 2014 yaitu, sekolah
dilarang melaksanakan masa orientasi peserta didik yang mengarah kepada tindakan
kekerasan, pelecehan dan atau tindakan destruktif lainnya yang merugikan
peserta didik baru baik secara fisik maupun psikologis baik di dalam maupun di
luar sekolah. Peraturan ini terlihat tidak tegas karena masih bersifat umum dan
bisa menuai spekulasi yang berbeda-beda dari pihak-pihak lembaga pendidikan.
Buktinya,
dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Praktisi
Pendidikan dan Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia, Retno Listyarti, ada
berbagai kasus perundungan yang berujung pada korban jiwa yang pernah terjadi
antara 2009 dan 2015 saat berlangsungnya MOS. Pada tahun 2009, siswa SMA 6
Surabaya, Roy Aditya Perkasa, tewas setelah pingsan saat ikuti MOS. Disebutkan bahwa Roy mengalami kelelahan
sekaligus tekanan psikis saat mengikuti MOS di sekolahnya. Selanjutnya, pada
tahun 2011, siswi SMA 9 Ciputat, Amanda Putri Lubis, meninggal di rumahnya
setelah mengeluh sesak napas. Keluarga korban mengatakan sebelumnya Amanda
menyiapkan atribut yang harus dibawa untuk MOS hingga pukul 24.00 WIB. Korban
kembali jatuh pada tahun 2012, siswa Sekolah Menengah Pelayaran Pembangunan Jakarta,
Muhamad Najib, meninggal setelah dipaksa jalan kaki sejauh 5 kilometer saat
MOS. Kemudian pada tahun 2015, siswi SMP PGRI Gadog Bogor, Febriyanti Safitri,
meninggal saat menjalani MOS di sekolahnya. Diduga karena kelelahan dan fisik
yang lemah.
Maka,
Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016, adalah jawaban yang tepat untuk menindak
lanjuti maraknya perploncoan yang terjadi saat MOS. Apalagi secara tegas diatur
dalam pasal 5 bahwa kegiatan MOS yang diganti menjadi PLS dilarang melibatkan
siswa senior (kakak kelas) dan/atau alumni sebagai penyelenggara. Meskipun ada
perizinan bahwa siswa boleh terlibat dalam penyelenggaraan PLS, itupun dibubuhi
dengan syarat yaitu, siswa yang tidak
memiliki kecenderungan sifat buruk dan riwayat sebagai pelaku tindak kekerasan,
memiliki prestasi akademik dan nonakademik yang baik dibuktikan dengan nilai
rapor dan penghargaan nonakademik atau memiliki kemampuan manajerial dan
kepemimpinan yang dibuktikan dengan keikutsertaan dalam berbagai kepemimpinan
yang dibuktikan dengan keikutsertaan dalam berbagai kegiatan positif di dalam
dan di luar sekolah. Tidak hanya itu, dalam Permendikbud ini juga jelas diatur
bahwa perencanaan dan penyelenggaraan kegiatan hanya menjadi hak guru, sehingga
kendali PLS akan dipegang oleh pihak sekolah dan dapat meminimalisir ruang bebas bagi
siswa senior untuk melakukan perploncoan.
Regulasi
tentang PLS sebagai kegiatan siswa baru dalam bentuk Permendikbud 18 Tahun 2016
patut diapresiasi sebagai upaya menghapus perploncoan kepada peserta didik baru
yang selama ini ditengarai cenderung mengarah pada kekerasan fisik maupun
verbal. Namun tak hanya soal regulasi, ada baiknya pula seluruh pihak
pemerintah, sekolah ataupun masyarakat dapat memantau berjalannya PLS agar
sesuai dengan tujuan. Dimana dalam pelaksanaan pengenalan lingkungan sekolah
bagi siswa baru dapat menjadi kegiatan yang bersifat edukatif dan kreatif untuk
mewujudkan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan. Serta bagaimana
agar kekeluargaan sekolah terbentuk, yaitu dengan siswa baru yang merasa
bersekolah bukan dengan senior, melainkan dengan seorang ‘kakak’.