Rabu, 20 Juli 2016

Sekolah bersama ‘Kakak’


Masa-masa kali pertama akan sekolah, selalu menjadi mimpi indah di malam hari bagi siswa baru. Terbayang teman baru, baju baru, serta pernak-pernik baru yang dipersiapkan untuk menjalankan aktivitas sekolah.  Tapi tak lupa juga membayangkan masa-masa pengenalan sekolah baru yang begitu mendebarkan. Penuh hentak serta pengujian mental. Seolah bersiap diri untuk dimaki.   Bagi siswa yang tidak baru, atau senior, juga begitu mendebarkan menanti bulan-bulanan mereka.’ Adik-adik’ baru yang akan mereka tempa mentalnya dengan hentakan dan tekanan melalui sebuah masa yang bernama MOS (Masa Orientasi Siswa).


sorak-sorak 'bergembiraaa'           *foto : google.com

            Namun, kini itu semua hanya menjadi sebuah bunga tidur yang menemani malam-malam mereka. Dengan adanya Peraturan menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 18 tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS), mulai tahun pelajaran 2016/2017 masa orientasi siswa baru berubah menjadi masa pengenalan lingkungan sekolah. Dimana upaya ini dilatar belakangi oleh implementasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2014 tentang Masa Orientasi Siswa Baru di sekolah yang dianggap belum dapat secara optimal mencegah terjadinya perpeloncoan dalam pelaksanaan pengenalan lingkungan sekolah.

          Sebab, dalam Permendikbud 55 Tahun 2014, hanya mengatur tujuan MOS, kurun waktu pelaksanaan, dan penanggung jawab. Dan malah tidak mengatur tentang siapa yang memegang kendali MOS, serta larangan yang spesifik mengenai pasal 3 Permendikbud 55 Tahun 2014 yaitu, sekolah dilarang melaksanakan masa orientasi peserta didik yang mengarah kepada tindakan kekerasan, pelecehan dan atau tindakan destruktif lainnya yang merugikan peserta didik baru baik secara fisik maupun psikologis baik di dalam maupun di luar sekolah. Peraturan ini terlihat tidak tegas karena masih bersifat umum dan bisa menuai spekulasi yang berbeda-beda dari pihak-pihak lembaga pendidikan.

            Buktinya, dalam sebuah artikel yang ditulis oleh      Praktisi Pendidikan dan Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia, Retno Listyarti, ada berbagai kasus perundungan yang berujung pada korban jiwa yang pernah terjadi antara 2009 dan 2015 saat berlangsungnya MOS. Pada tahun 2009, siswa SMA 6 Surabaya, Roy Aditya Perkasa, tewas setelah pingsan saat ikuti MOS.  Disebutkan bahwa Roy mengalami kelelahan sekaligus tekanan psikis saat mengikuti MOS di sekolahnya. Selanjutnya, pada tahun 2011, siswi SMA 9 Ciputat, Amanda Putri Lubis, meninggal di rumahnya setelah mengeluh sesak napas. Keluarga korban mengatakan sebelumnya Amanda menyiapkan atribut yang harus dibawa untuk MOS hingga pukul 24.00 WIB. Korban kembali jatuh pada tahun 2012, siswa Sekolah Menengah Pelayaran Pembangunan Jakarta, Muhamad Najib, meninggal setelah dipaksa jalan kaki sejauh 5 kilometer saat MOS. Kemudian pada tahun 2015, siswi SMP PGRI Gadog Bogor, Febriyanti Safitri, meninggal saat menjalani MOS di sekolahnya. Diduga karena kelelahan dan fisik yang lemah.

            Maka, Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016, adalah jawaban yang tepat untuk menindak lanjuti maraknya perploncoan yang terjadi saat MOS. Apalagi secara tegas diatur dalam pasal 5 bahwa kegiatan MOS yang diganti menjadi PLS dilarang melibatkan siswa senior (kakak kelas) dan/atau alumni sebagai penyelenggara. Meskipun ada perizinan bahwa siswa boleh terlibat dalam penyelenggaraan PLS, itupun dibubuhi dengan syarat yaitu,  siswa yang tidak memiliki kecenderungan sifat buruk dan riwayat sebagai pelaku tindak kekerasan, memiliki prestasi akademik dan nonakademik yang baik dibuktikan dengan nilai rapor dan penghargaan nonakademik atau memiliki kemampuan manajerial dan kepemimpinan yang dibuktikan dengan keikutsertaan dalam berbagai kepemimpinan yang dibuktikan dengan keikutsertaan dalam berbagai kegiatan positif di dalam dan di luar sekolah. Tidak hanya itu, dalam Permendikbud ini juga jelas diatur bahwa perencanaan dan penyelenggaraan kegiatan hanya menjadi hak guru, sehingga kendali PLS akan dipegang oleh pihak sekolah dan dapat meminimalisir ruang bebas bagi siswa senior untuk melakukan perploncoan.

            Regulasi tentang PLS sebagai kegiatan siswa baru dalam bentuk Permendikbud 18 Tahun 2016 patut diapresiasi sebagai upaya menghapus perploncoan kepada peserta didik baru yang selama ini ditengarai cenderung mengarah pada kekerasan fisik maupun verbal. Namun tak hanya soal regulasi, ada baiknya pula seluruh pihak pemerintah, sekolah ataupun masyarakat dapat memantau berjalannya PLS agar sesuai dengan tujuan. Dimana dalam pelaksanaan pengenalan lingkungan sekolah bagi siswa baru dapat menjadi kegiatan yang bersifat edukatif dan kreatif untuk mewujudkan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan. Serta bagaimana agar kekeluargaan sekolah terbentuk, yaitu dengan siswa baru yang merasa bersekolah bukan dengan senior, melainkan dengan seorang ‘kakak’.





Minggu, 17 Juli 2016

Hanya. Itu Saja.




















Sebuah plang putih mendulang di dekat sawah Renon. Diam dan tegak, terlewatkan begitu saja. ‘Tanah milik pemerintah Kota Denpasar’, mengisyaratkan bahwa tanah yang tertancapkan besi putih itu merupakan lahan konservasi Kota Denpasar. Namun, plang itu, hanya sebuah plang. Tiada arti bagi paving-paving yang tergeletak sekitar 1 meter dari plang itu. Seperti menanti kuli bangunan untuk menggarapnya. Seperti itu pula yang terjadi pada petani-petani di Renon. Terkulai menanti penyelamat sawah. Wayan Mara adalah salah satunya. Tatkala matahari terik menari di langit, ia tetap sibuk menggarap sawahnya. Namun, kebanyakan yang dilakukan menatap kosong hamparan hijau di depannya, atau meratapi apakah kehijauan itu akan berganti menjadi paving yang sudah siap bersetubuh dengan tanah. Harapannya begitu jelas tertulis dalam baju yang ia kenakan. Sebuah baju partai ‘banteng merah’ yang sedang mengobral janji untuk mendapat kursi kekuasaan. Berharap bahwa dukungannya bisa menolong lahan sawah para petani Renon di  tengah pembangunan kota. Tapi yang ada kini, hanya sebuah sumbangan plang putih, terlewatkan begitu saja, tak tegas menantang pembangunan di sekelilingnya. Bahkan untuk mengusir gundukan paving pun, ia tak berdaya.







Kamis, 07 Juli 2016

Pendidikan Indonesia : Sebuah Tombak Tumpul


                Pendidikan merupakan faktor utama untuk menunjang majunya suatu negara. Pendidikan yang baik akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga dapat memanfaatkan peluang-peluang untuk berkembang dengan baik. Akan tetapi, hal seperti ini tidak terjadi di Indonesia.  Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific dan Cultural Organization (UNESCO), terhada[ kualitas di nega-negara berkembang di Asia Pasific. Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kualitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang. (dikutip dari van88.wordpress.com).

            Dengan peringkat seperti itu, Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendibud), melakukan 11 kali pergantian kurikulum pendidikan nasional. Kurikulum tahun 1947, yang disebut dengan Rencana Pelajaran Dirinci Dalam Rencana Pelajaran Terurai, terimplementasi selama 17 tahun dan mengalami perubahan pada tahun 1964, dengan kurikulum yang disebut dengan Rencana Pendidikan Dasar yang hanya terimplementasi selama 4 tahun. Lalu, tahun 1968, dengan Kurikulum Sekolah Dasar yang diubah pada tahun 1974, dengan Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan dan hanya 1 tahun kemudian, yaitu tahun 1975, diubah kembali menjadi Kurikulum Sekolah Dasar. Lalu, pada tahun 1984, Kurikulum Sekolah Dasar, diubah menjadi Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (K-CBSA). Setelah terimplementasi selama 10 tahun, CBSA diubah menjadi Kurikulum 1994, dan kurikulum ini direvisi pada tahun 199. Pada tahun 2004, Kurikulum CBSA mengalami perubahan yang cukup signifikan menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), lalu berusaha disempurnakan pada tahun 2006 dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTPS). Dan, tahun 2013 ini pemerintah kembali menerapkan kurikulum baru yang saat ini sudah terimplementasi. (dikutip dari http://www.kompasiana.com).  Lantas, apa sebenarnya yang salah dengan pendidikan Indonesia sehingga mengalami evaluasi-evaluasi bahkan merombak secara keseluruhan dari kurikulum tersebut?

            Sebuah kurikulum mengalami perubahan baik itu diberi penambahan atau pengurangan salah satu poin-poin di dalamnya karena melihat kondisi terakhir yang terjadi di dalam negaranya. Yang terjadi selama ini di Indonesia adalah; dari faktor pengajar, kurang kreatif dalam melakukan proses mengajar. Anak-anak yang memiliki karakter dan kreativitas yang berbeda tentu akan memiliki cara belajar yang berbeda-beda pula. Namun, pendidik justru tidak bertolak ukur pada faktor tersebut, melainkan hanya menentukan satu metode mengajar untuk membentuk satu karakter siswa yang ia inginkan. Pendidik tidak mengeksplor serta menggali potensi siswa dengan baik sehingga yang menjadi fokus hanyalah apakah materi tersebut sudah tersempaikan sesuai dengan waktu yang diberikan. Sebenarnya pengajar termasuk faktor utama untuk menentukan apakah pendidikan dapat terimplementasi dengan baik atau tidak. Karena jika metode mengajar yang salah, maka akan salah pula generasi yang dihasilkan. Selain pengajar, faktor mengapa kurikulum mengalami perubahan adalah tentu karena kegagalan kurikulum yang sebelumnya. Dimana kurikulum sebelumnya memberatkan siswa untuk memahami seluruh pelajaran baik itu dalam pelajaran hitung-menghitung maupun hafal-mengafal, dan harus mencapai suatu standar nilai untuk mencapai lulus atau tidaknya seorang siswa untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.

            Yang paling pertama terkena imbasnya adalah siswa. karena siswa yang menjadi tolak ukur untuk menentukan apakah kurikulum tersebut berhasil atau tidak. Lihat saja, bahkan kita bisa merasakannya sendiri. Kita memiliki karakter berbeda-beda dan tentu tidak bisa disamakan melalui satu metode pengajaran. Dengan setiap harinya kita hanya duduk di kelas dan mendengar ceramah guru tentu tidak efektif untuk menyampaikan sebuah materi. Karena sesuai dengan pembagian otak manusia, ada 5 karakter umum yang ditimbulkan; insting, thinking, intuiting, sensing, dan feeling. Tentu setiap menusia masing-masing hanya memiliki satu karakter dari kelima tersebut. Pada anak tipe insting, dalam proses belajarnya harus dibarengi dengan pengembangan insting, pada anak tipe thinking dalam proses belajarnya perlu ditekankan pada metode analisa dan nalar, pada anak tipe intuiting dalam proses belajarnya perlu ditekankan kepada kreativitas dan imajinasi, pada anak tipe sensing dalam proses belajarnya lebih ditekankan kepada proses mengahafal, mengingat, serta meniru, pada anak tipe feeling dalam proses belajarnya ditekankan kepada fungsi indera pendengarannya dimana anak akan menyerap mentah-mentah apa saja yang didengarkannya. Dengan tipe-tipe yang banyak serta metode belajar yang berbeda-beda, tentu tidak bisa dipaksakan menjadi satu metode. Yang terjadi jika dipaksakan hanyalah akan menjadi sebuah kegagalan dalam proses belajar-mengajar.


            Untuk itu, pendidik perlu kreatif dalam menjalankan tugas mengajar dengan melakukan banyak metode secara bergiliran, misalnya, dengan memberikan alat peragaan, dengan menghafal sebuah teori, atau belajar di luar kelas sembari bermain. Dengan seperti itu, maka anak didik dapat paham dengan cara mereka sendiri. Dan bukan menjadi sebuah robot yang terbentuk dengan kehendak guru sendiri. Pendidikan harusnya menjadi tombak tajam untuk menjadi ‘senjata pelindung’ sebuah negara. Dengan ‘tombak tumpul’ yang dimiliki Indonesia, harus diasah kembali menjadi tombak tajam untuk melindungi segenap bangsa indonesia dari jajahan bangsa lain. (gsw)

Rabu, 29 Juni 2016

Satu Tahun bersama Madyapadma


“Kamu mau standar apa? Tinggi? Sedang? Atau rendah?”

Sebuah kalimat yang tidak pernah saya lupakan ketika pertama masuk MP.

Pertanyaan yang dilontarkan Kak Ananta tentang standar itu saya dapati ketika pertama kali mengikuti sebuah lomba mini news paper di Universitas Negeri Malang. Saya, yang baru saja diterima di SMAN 3 Denpasar lewat jalur prestasi jurnalistik tiba-tiba diminta mengikuti lomba itu. Padahal untuk bercakap-cakap dengan pembinanya (Kak Ananta) saja saya sungguh sangat jarang. Jangankan untuk bercakap, pemberian materi ekstra untuk anggota baru saja belum.


Setelah dilontarkan dengan pertanyaan, waktunya saya menjawab. Saya menatap Kak Ananta. Kak Ananta menatap saya. Ya iyalah. Tapi, dengan percaya dirinya saya menjawab, “Tinggi kak". Oh sungguh bangganya saya. Lalu saya tersenyum kemenangan. Kak Ananta juga tersenyum, tapi senyum Kak Ananta memang punya banyak arti. Rupanya, ada neraka yang menanti saya dibalik itu.

Jadi begitulah saya, bersama dua orang teman baru saya; Pradnya dan Dyo. Pradnya yang merupakan saingan lomba saat SMP dan Dyo yang namanya sangat susah diucapkan (Dyotavaro). Kami bertiga tidak hanya akan bersaing dengan peserta luar sekolah, tapi juga dengan kakak kelas sendiri. Bayangkan saja, hal yang pertama kali saya rasakan adalah rasa minder yang amat sangat. Berasa seperti biji jagung diantara berlian-berlian.

Untuk memilih standar tinggi, perlu perjuangan yang sangat tinggi hingga Kak Ananta meng-iya-kan tulisan kita, tinggi sekali dan mengalami revisi berkali-kali. Bahkan untuk leadnya saja saya bisa mengubahnya hingga sekitar 5 kali. Tapi tetap tidak disetujui. Alhasil, karena saya kesal, saya menghapus kalimat terakhir. DAN AKHIRNYA, DISETUJUI. Rasanya saya pingin ngengek, otak saya juga pingin ngengek, semua pingin ngengek. Kenapa gak dari tadi gitu lho. Tapi itu baru lead saja, belum tulisan secara keseluruhan. Saya frustasi, revisi tak kunjung selesai, bulan mulai menyapa langit, keringat dingin, bintik-bintik, lalu saya cacar ditempat (ngayal). Hingga saya berkata, “Kak, saya milih sedang aja”. Terus Kak Ananta tertawa, puas sekali sepertinya. Akhirnya tulisan saya disetujui, tapi tentunya dengan standar sedang. Dan hingga sekarang, pengalaman ini, selalu menjadi bahan ejekan Kak Ananta untuk saya. 

revisi oh revisi..............

Tapi satu hal yang sangat saya ingat adalah bagaimana usaha kakak kelas MP untuk mendapatkan juara. Mereka gila menurut saya kala itu. Tulisannya benar-benar gila. Idenya sangat gila. Wawasannya apalagi. Saya sangat tidak mengerti, mengapa bisa ada murid-murid seperti itu. Memiliki tekad yang kuat, tapi juga sejalan dengan kerja yang keras. Hingga pada akhirnya mereka menjadi juara. Sedangkan kelompok saya? Jangan berharap untuk sebuah standar sedang. Hadeuh, Gusti.

Membahas kakak kelas, di MP saya mengenal banyak kakak kelas bahkan kakak kelas yang sudah tamat. Mereka sangat peduli dengan perkembangan MP. Mereka selalu bersedia untuk bebagi pengalaman bahkan ilmu. Mereka juga bisa menjadi sebuah cambuk yang siap mencamuk-camuk kita jika kita mengalami penurunan kualitas. Mereka siap mengkritik dengan sangat tajam, bahkan hingga membuat jatuh. Dan saya pernah merasakan itu. Ketika saya mendapat juara 2 lomba akademika tingkat region. Banyak tekanan yang saya rasakan dari alumni. Lalu saya tersedu-sedu menangis di jalan saat pulang dari sekolah. Merasa bahwa saya gagal menjadi anak MP. Saya kecewa dengan diri saya sendiri. Tapi baru saya sadari, mereka seperi itu karena memang seperti itu cara mereka mendidik. Dan akibat dari tekanan itu, saya mampu untuk bangkit lagi.

Membahas akademika, akan saya ceritakan sedikit. Setelah saya mengerti bagaimana pola pikir sebagai anak MP : kalau mau juara ya harus langkah juara. Saya mulai meyakinkan diri untuk menyiapkan mental. Akademika itu tidak mudah untuk dilewati. Berbagai seleksi yang menguras otak, serta kekuatan mental benar-benar diuji. Tahap demi tahap, ratusan hingga ribuan kata, bersaing dengan kakak kelas sendiri, dan banyak hal yang diujikan untuk lolos masuk menjadi 20 orang yang akan mengikuti lomba tersebut. Singkat cerita akhirnya saya lolos, menjadi bagian dari kelompok itu dan tidak menyangka ditempatkan sebagai penulis Laput 1. Padahal saya sangat takut, tapi saya terlalu munafik jika mengatakan tidak ingin.   

Dengan keinginan itu, setiap harinya saya selalu membeli koran sebagai bahan refrensi, membolak balik buku yang diberikan Kak Ananta, memperdalam materi hingga larut malam lalu bangun saat dini hari untuk lebih menguasainya. Lalu saya pernah muntah di pagi harinya karena benar-benar dijenuhi dengan materi-materi yang harus dipelajari. Tapi saya tidak mempermasalahkan itu, karena saya sudah berkata pada ayah saya bahwa saya akan mendapat laporan utama terbaik seBali. Saya ingin berkomitmen dengan impian saya. Saya tidak ingin mengecewakan diri saya maupun orang lain. Akhirnya, saya mendapatkan Laput terbaik tingkat region serta Laput Terbaik tingkat seprovinsi Bali. Bangganya saya atas usaha saya. Dan kami semua, Madyapadma, mendapat juara 1 tingkat provinsi Bali.

penulis-penulis berita terbaik 

Saya memang bangga, tapi saya tidak begitu bangga ketika melihat teman saya menangis atas kemenangan ini. Padahal kami berlomba membawa nama Madyapadma. Tapi ketika nama itu disebutkan sebagai juara, mereka menangis karena kekalahan. Saya mengerti, tidak semua dapat gelar terbaik, tapi bagi saya mereka berjuang dengan sangat baik. Teman saya, Adnya, yang juga menulis Laput sependapat dengan saya. “Luh, kita memang menang tapi rasanya kayak lagi  gak menang ya”. Kata dia.

Semua hal-hal hebat diatas tak akan bisa tanpa seseorang, yaitu Kak Ananta. Beliau yang mengajarkan saya untuk lebih membuka mata, berpikir dewasa, dan tegar tentunya. Beliau bukan hanya seorang pembina bagi saya, beliau juga seorang ayah, guru kehidupan, sahabat, apa saja. Beliau murah senyum dan mudah tertawa. Tapi kalau lagi diem ya keliatan kayak orang jutek gitu sih kak. Serem. Beliau juga bersedia menampung rasa galau saya yang tak membendung, beliau juga seorang malaikat ketika saya merasa dunia saya benar-benar tidak ada harapan, beliau menawarkan banyak cara untuk berprestasi, beliau adalah orang hebat yang selalu mencetak orang-orang hebat pula. Namun layaknya seorang ayah, beliau juga mendidik dengan keras, bersikap tegas bahkan ketika kita dihadapi oleh pilihan yang sulit, harus bertanggung jawab atas apa pilihan yang telah kita pilih, dan sikap patang menyerah yang selalu beliau tanamkan pada kami, anak-anak MP. “Kamu boleh capek, tapi kamu gak boleh nyerah” begitu katanya. 

sebuah keluarga

Banyak hal yang saya dapatkan di MP, mulai dari mengikuti pelatihan-pelatihan dan menyelenggarakan sebuah event besar. Semua itu tidak bisa saya jabarkan satu-persatu karena akan banyak menghabiskan halaman. Tapi satu hal yang saya benar-benar dapatkan di MP adalah sebuah keluarga. Keluarga yang memiliki daya juang yang sama. Memiliki tujuan yang kuat. Sehingga bersama-sama bisa mencapai sesuatu yang awalnya dianggap tidak mungkin menjadi hal yang sangat mungkin. 


“1... 2... 3... MP TRISMA!!!”